BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Qawaid
fiqhiyyah adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Namun banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid
fiqhiyyah. Dewasa ini ilmu qawaid fiqhiyyah yang kian berkembang. Sehingga
study tentang ini amat menarik
diperbincangkan terutama kalangan yang ingin memahami ilmu tentang qawaid ini,
bukan saja para mahasiswa tetapi masyarakat yang luas juga mempelajarinya, oleh
karena itu, kami selaku penulis akan mencoba untuk menerangkan tentang
faktor-faktor yang mendorong penyusunan kaidah fiqhiyyah.
Diantara
kaidah fiqih penting adalah : “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan
tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha
memasukkan berbagai amalan ibadah, mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam
kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu, maka dikembalikan lagi ke
asalnya, yakni yang yakin.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor yang mendorong
penyusunan qawaid fiqhiyyah?
2. Bagaimana proses pembentukan dan perkembangan qawaid
fiqhiyyah?
3. Bagaimanakah
penyelesaian masalah yang bertautan dengan qaidah kedua?
C.
Tujuan Makalah
Agar kita sebagai
mahasiswa/I dapat mencari tahu dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada
dan dapat dipecahkan bersama dan dapat dipahami isi dari makalah ini dengan
baik dan bijak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid
fiqhiyyah
Antara faktor yang membawa kepada
terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini ialah peranan para ulama’ dan
mujtahid. Golongan ini memainkan peranan mereka menggunakan akal fikiran
berdasarkan ilmu daripada sumber perundangan, selaras dengan konsep syariat
yang sesuai dilaksanakan tanpa mengira masa dan tempat. Justeru itulah para
mujtahid berusaha dengan berijtihad untuk memahami nas-nas dan mempraktikkan
kaedah-kaedah yang umum terhadap masalah furu’ yang baru dan sentiasa
muncul. Sebagai contoh, melalui konsep al-Qiyas, Istihsan, ‘Uruf serta
berbagai sumber lain lagi.
Dalam konteks lain, para ulama’ dan
mujtahid mengkaji dan mendalami semua ruang serta sumber perundangan
Islam yang luas dan berijtihad dengan ilmu yang mereka ada untuk memahami
nas-nas dalam mengkaji prinsip-prinsip syariat yang sesuai dengan keadaan masa
dan tempat. Justeru itu, mereka mempraktikkkan kaedah yang berbentuk umum
terhadap masalah khusus atau furu’ yang baru serta sentiasa wujud dalam
masyarakat.
Antara faktor lain yang membawa
kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini sebagaimana yang dijelaskan
oleh para ulama’ dan fakta sejarah ialah kerana terdapat nas-nas yang dapat
ditafsirkan dengan berbagai-bagai. Yaitu ada nas yang berbentuk umum yang
merangkumi pelbagai masalah, dan ada nas yang mutlaq yang mana melahirkan
pendapat-pendapat untuk mengikatnya atau untuk memuqayyadkannya.
Selain itu, kaedah fiqhiyyah
ini juga muncul akibat terdapat kaedah-kaedah umum yang berasaskan adat
kebiasaan yang muncul dalam perkembangan hidup manusia dari satu generasi ke
satu generasi lain untuk disesuaikan dengan masalah-masalah hukum furu’.
Oleh yang demikian, ia memerlukan sumber-sumber akal fikiran dan amalan-amalan
yang berterusan sebagai adat atau ‘uruf untuk mengeluarkan hukum yang fleksibel
di samping untuk menangani persoalan semasa yang sentiasa wujud dan berterusan
sehinggan kini
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat
dikumukakan beberapa faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai
berikut:
1.
Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga
menyebabkan semakin sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka
untuk mempermudah menghafal dan
mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut, disusunlah qawaid
fiqhiyyah.
2.
Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah
terinspirasi oleh sebagian teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim
3.
Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah
didorong oleh pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang
dituntut untuk memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang
diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka
memberikan jawaban yang singkat dan padat.[1]
B.
Proses pembentukan dan perkembangan qawaid
fiqhiyyah
Proses pembentukan qawaid fiqhiyyah i ni terjadi
antara lain didorong oleh karena adanya
kebutuhan memahami ketentuan hukum (fikih) yang begitu banyak. Dengan adanya
kaidah fikih ini diharapkan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.,
dapat memperoleh jawaban secara cepat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum
Islam yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, serta dengan metodologi ushul fikih
yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih yang kemudian diteliti
persamaanya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompkkan dan
tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah–masalah yang serupa,
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih yang bersifat sementara, lalu
selanjutnya melanjutkan kritisasi terhadap kaidah-kaidah tadi dengan banyak
ayat dan hadis. Setelah proses kritisi barulah kaidah fikih ini menjadi mapan
dan para ulama menggunakan kaidah untuk menjawab persoalan masyarakat dibidang
sosial, ekonomi politik dan budaya yang kemudian menghasilkan fatwa-fatwa yang
dijadikan dasar oeh negara dalam menyusun perundang-undangan.[2]
Perkembangan qawaid fiqhiyyah fase pertama : fase
kemunculan dan berdirinya kaidah fiqh. Oleh mulai zaman rasulallah sampai akhir
abad III H/IX M. Pada masa ini ada hadist, atsar sahabat dan perkataan tabi’in
yang bisa dikategorikan kaidah fiqh karena mencakup berbagai masalah furu’.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaidah fiqh semakin bertambah dan berkembang,
akan tetapi kaidah-kaidah fiqh tersebut berserakan dalam berbagai kitab fiqh,
seperti: dalam kitab al-kharaj karya abu yusuf (w 182 H/798 M). Fase kedua :
masa perkembangan dan pembukuan kaidah fiqh dimulai pada abad 4H/10 M-13H/19M .Pada
masa ini, kitab-kitab fiqh sangat banyak sekali, para ulama tidak melakukan
ijtihad mutlak, tetapi menulis ushul fiqh dan merumuskan kaidah-kaidah fiqh.
Penulisan terangkum dalam tema-tema semisal al-Qawaid wa adh-Dhawabith.
Penulisan dimulai dengan pernyataan umum
(kaidah-kaidah) kemudian diikuti dengan furu” seperti dalam kitab al-asyabah wa
Van-Nazhair oleh jalaludin as-sayuthi. Penulisan qaidah fiqh pada fase ini
dimulai oleh al-Karakhi dan ad-Dabusi dari kalangan ulama hanafiyah. Fase
ketiga: fase kemajuan dan sistematsasi qaidah fiqh dimulai dengan kelahiran
majallah al-ahkam al-adliyyah( kompilasi hukum islam di masa turki dan usmani).[3]
Ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang
qawaid adalah Abu Thahir Ad-Dabbas, seorang ulama yang hidup pada abad-3 dan 4
Hijriyah. Ia mengumpulkan 17 kaidah yang terpenting dalam mazhab Abu Hanifah.
Diantaranya, panca kaidah yang dipandang induk kaidah oleh Qadhi Husein, yang
disebut dengan qawaid al khamsah. Kaidah ini mulanya dinamakan ushul. Pensyarah-
pensyarah mazhab dan pengarang-pengarang qawaid, sering mengatakan min ushul
Abi Hanifah. Mereka menyebut sebgaian ushul ini sebagai qawaidh, sebagaimana
terdapat dalam kitab Ta’siran Nadzar karangan ad-Dabusi dan dalam kitab
Ta’siran Nadzar karangan ad-dabusi dan dalam kitab Qawaid al-Karakhi[4]
C.
Yang sudah diyakini tidak dapat dihapus oleh keraguan
“Yang sudah yakin tidak
dapat dihapuskan oleh keraguan”
Qai’dah ini merupakan pondasi syar’i
yang kokoh. Didalamnya memuat banyak persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada
penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qai’dah ini dengan tegas
memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalah bersuci dan
shalat. Seperti yang telah diketahui, bahwa was-was adalah penyakit menyesatkan
dan sulit dihilangkan. Apabila sudah mencengkram pada seseorang, maka ia akan
sulit melepaskannya, sehingga ia berada pada kesulitan yang tak berkeputusan
dan merasakan keberatan untuk melakukan kewajiban-kewajiban ibadah. Demikian
pula pada masalah-masalah selain bersuci dan shalat. Qai’dah ini menawarkan
sebuah solusi berupa kemudahan-kemudahan dan pertolongan kepada semua orang
dalam melakukan ibadah.
Secara
rasional, sebuah keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila dibanding
dengan gejala hati yang lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat
suatu kepastian yang tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang
akan mengantarkan seseorang kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah.
Sementara keraguan adalah suatu kondisi yang kerap hadir dalam hati dan tidak
bosan untuk terus menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau komitmen seseorang.
Qa’idah “Al-Yaqin
La Yuzalu Bi Al-Syak” yang menjadi
konklusi dari hadis-hadis diatas, dalam prakteknya bisa menyusup kepada seluruh
pembahasan fiqh meliputi masalah ibadat, muamalat,’uqubat, aqdhiyah. Memandang
kenyataan demikian itu, Imam al-Syuyuthi mengatakan bahwa Qai’dah ini bisa
masuk pada seluruh bab-bab fiqh. Masalah-masalah yang bisa diselesaikan oleh
qa’idah ini mencapai lebih dari tiga seperempat masalah fiqh atau bahkan lebih.
Menyangkut masalah ibadah, muamalah, sanksi, dan lain-lain.[5]
1.
Al-Yakin
Al-yakin secara bahasa menurut Ibn Mandzur, “ Al-yakin adalah mengetahui,
menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah).
Al-Yakin merupakan kebalikan dari
al-syak”. bahwa al-yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas
hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya adalah
bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang
baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan yang sesamanya.
Adapun yang dimaksud dengan yakin adalah: “sesuatu
yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil( bukti)”
Contohnya
adalah seorang laki-laki bepergian ke wilayah yang sangat jauh, sehingga tidak
terdengar lagi khabar beritanya dalam waktu yang lama. Tidak adanya khabar
laki-laki ini menyebabkan orang yang ditinggal menjadi ragu akan masih
hidupnya. Hanya saja keraguan itu tidak bisa menghilangkan keyakinan awal,
yaitu masih hidup yang telah diyakini sebelumnya. Oleh karena itu, lelaki
tersebut tidak boleh dihukumi mati dan ahli warisnya tidak boleh membagi harta
yang ditinggalkan sebelum ada keyakinan pasti akan kematiannya seperti waktu
berangkat dulu sudah berumur delapan puluh tahun, dan sudah pergi selama tiga
puluh tahun tanpa ada khabar beritanya padahal umumnya orang berumur sekian ini
sudah meninggal, maka lelaki tersebut bisa dihukumi mati
2. Ghalabah al-Dzan
Ghalabatu al-dzan menurut Abu Hilal al-‘Asykari
adalah,” Dugaan tetap, yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara
atas lainnya dengan dominasi muthlak, dan lainnya di kesampingkan karena
terlalu lemah”.
Menurut para
pakar fiqh, hukum ghalabatu al-dzan adalah sama dengan al-yakin.
Dengan kata lain, bagi seorang mujtahid boleh mencetuskan hukum fiqh dengan
hanya berlandaskan pada ghalabatu al-dzan ketika tidak ditemukan al-yakin,
karena al-yakin dalam proses mencari dalil (istidlal) dan
menggali hukum (istinbath al-hukmi) adalah hal yang sulit dan jarang
sekali bisa dicapai oleh seorang mujtahid.
Ghalabatu
al-dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada
dua kemungkinan. Ia menduga bahwa salah satunya lebih unggul, dan hatinya
condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul
disebut al-dzan.
3.
Al-Dzan
Menurut Imam
Raghib, al-dzan adalah,” Perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila
tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan dan apabila lemah
sekali maka disebut salah duga (tawahum)”. Al-Hamawi dalam kitabnya,
mendefinisikan al-dzan dengan mengatakan,” Al-dzanadalah, menduga
diantara dua kemungkinan perkara sekiranya kemungkinan salah satunya lebih
mendominasi, namun tidak bisa mengesampingkan lainnya”.
Perbedaan
yang lebih transparan antara al-dzan dan ghalabatu al-dzan dikemukakan oleh Ibn Abidin, mengutip
pernyataan dari pakar fiqh:
“ Apabila
salah satu dari dua sisi kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli sisi
yang lain, namun hati enggan untuk mengambil sisi yang kuat ini dan enggan juga
untuk membuang sisi yang lain dan lemah, maka dilema hati yang demikian inilah
yang disebut al dzan. Apabila hati berpegang pada salah satunya dan
mengesampingkan yang lain, maka disebut ghalabatu al-dzan”.
4.
Al-Syak
Al-syak dipandang dari segi etimologis artinya menyambung atau melekat. Pada
perkembangannya al-syak kemudian menjadi terminologi fiqh dan terkenal
dikalangan ulama fiqh dengan memiliki arti ragu atau bingung. Mengutip apa yang
dinyatakan Siraju al-Din ibn al-Mulaqqin dalam kitab al-Asybahnya ia
mengatakan bahwa yang dimaksud al-syak adalah, “Ragu atau bingung
dalam menentukan diantara ada dan tidak adanya sesuatu dengan sama-sama kuat”. Sedangkan yang disebut dengan syak adalah :” suatu
hal keadaanya tidak pasti, berada tepat di tengah-tengah antara kemungkinan
adanya dan kemugkinan tidak adanya, tanpa ada yang dapat lebih dimenangkan /
dipastikan dari salah satu kedua kemungkinan tersebut”.
Dalam
realitasnya ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini.
Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada
tempat al-syak, atau sebaliknya. Sebagaimana hal ini diungkapkan didalam
kitab Kasyaf al-Asror,” Asumsi (al-dzan) yang bertolak dari
sinyalemen dalil-dalil syar’i adalah sama dengan melakukan ijtihad dalam
menggali hukum, maka asumsi yang demikian ini bisa dijadikan dasar dalam
memutuskan hukum”.
Jadi, arti
sempurna untuk qa’idah diatas adalah,” Sesuatu yang eksistensinya sudah
diyakini dari sebelumnya tidak akan hilang hanya karna disebabkan oleh baru
datangnya keraguan”. Masalah keyakinan secara logika tidak mungkin bisa
dihilangkan begitu saja oleh sesuatu yang lebih lemah daripadanya. Demikian ini
tidak berarti bahwa secara implisit dalam hukum syar’i terdapat keraguan dan
kesamaran. Kalaupun kemudian muncul keraguan pada mukallaf itu disebabkan oleh
baru datangnya faktor-faktor eksternal yang menurut mukallaf saling berlawanan,
sehingga masalah tersebut meragukan baginya. Padahal tidak jarang pada
kesempatan lain ia berubah pikiran tentang sesuatu yang sebelumnya ia ragukan
itu, kemudian ia anggap sebagai dugaan (al-dzan). Begitu pula dengan
orang lain, kadang-kadang ia menganggap berbeda dari apa yang dianggap oleh
mukallaf. Bahkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai kepastian (qoth’i).
Maka satu masalah yersebut bisa berstatus al-dzan menurut satu orang
yang lain, dan bisa berstatus al-yakin menurut lainnya. Oleh karenanya keraguan
(al-syak) dan dugaan (al-dzan) pada suatu masalah bukan merupaka
sifat yang menetap, sebab bisa berubah-rubah pada masing-masing orang.
Pemahaman
yang paling akurat dan sesuai adalah bahwa hal-hal itu merupakan perkara yang
baru datang, yaitu ketika masalah tersebut dipersepsikan oleh seseorang. Sikap
ragu bisa muncul begitu saja dalam benak seseorang dikarenakan adanya sifat
lupa atau ketidaktahuan.
Yang
demikian ini banyak sekali terjadi pada masalah-masalah fiqhiyah. Oleh
karenanya, para pakar fiqh merasa perlu sekali umtuk merumuskannya dalam suatu
Qa’idah. Para pakar fiqh dan ushul sepakat untuk menerapkan konsep dasar yang
merupakan aplikasi dari Qa’idah Ψ§ΩΩΩΩΩ ΩΨ§ ΩΨ²Ψ§Ω Ψ¨Ψ§ΩΨ΄Ω. dalam kitab Ushul al-Sarakhsi
dikatakan,” Berpegang pada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan
hukum dasar dalam syar’i”[6]
Jadi maksud dari kaidah tersebut ialah bahwa sesuatu yang telah
meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali
yang meragukan itu meningkat menjadi meyakinkan. Jadi semua tindakan harus
berlandaskan pada yang diyakini.
“Yang pokok atau kuat adalah
tetap berlakunya hukum yang ada menurut keadaannya semula”.
Berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang
menjumpai keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diberlakukan hukum yang
telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lalu, sampai ada hukum yang
lain yang merubanya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
“Pada dasarnya manusia
adalah bebas dari tanggungan”
Pada dasarnya manusia adalah bebas, tidak
mempunyai tanggung jawab terhadap hak hak orang lain. Adanya beban tanggung
jawab adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan
yang telah dia lakukan.
“Barang siapa ragu ragu apakah dia telah melakukan
sesuatu atau belum, maka hukum yang lebih kuat adalah dia belum melakukan
sesuatu”.
dalam hubungannya dengan masalah “syak” atau keragu-raguan ini, Syeh Abu
Hamid Al-Isfaroyini mengatakan bahwa keraguan-keraguan itu ada tiga macam :
1.
Keragu-raguan yang timbul dari pangkal (sumber)
yang haram.
2.
Keragu-raguan yang timbul dari pangkal yang mubah
3.
Keragu-raguan yang tidak diketahui dari mana
asalnya (haram atau halal)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qa’idah ini
merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan hukum
fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah
ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh
bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan
mengetahui seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh
islam, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap
sesuatu selalu berbeda-beda.
Al-Yakin
secara bahasa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan
kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan
Ghalabah al-Dzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara
dua perkara atas lainnya dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan
karena terlalu lemah. Al-Dzan yaitu perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda.
Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan. Dan apabila
lemah sekali maka disebut salah duga. Al –Syak adalah sepadan antara dua sisi
perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati
tidak condong pada salah satunya
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh
(Jakarta: Kalam Mulia, 2001)
Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad
al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz
II
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf
al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV
Mardani,
Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015)
[2]
Mardani, Hukum
Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 280-281
[4]
Mardani, op.cit., hlm 282-283
[5]
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala
Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz
IV, h. 49
[6] Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad
al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz
II, h. 116
Komentar
Posting Komentar