Langsung ke konten utama

Makalah faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid fiqhiyyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Qawaid fiqhiyyah adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Namun banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid fiqhiyyah. Dewasa ini ilmu qawaid fiqhiyyah yang kian berkembang. Sehingga study tentang  ini amat menarik diperbincangkan terutama kalangan yang ingin memahami ilmu tentang qawaid ini, bukan saja para mahasiswa tetapi masyarakat yang luas juga mempelajarinya, oleh karena itu, kami selaku penulis akan mencoba untuk menerangkan tentang faktor-faktor yang mendorong penyusunan kaidah fiqhiyyah.
Diantara kaidah fiqih penting adalah :Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha memasukkan berbagai amalan ibadah, mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu, maka dikembalikan lagi ke asalnya, yakni yang yakin.       

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid fiqhiyyah?
2.      Bagaimana proses pembentukan dan perkembangan qawaid fiqhiyyah?
3.       Bagaimanakah penyelesaian masalah yang bertautan dengan qaidah kedua?

          C.           Tujuan Makalah

          Agar kita sebagai mahasiswa/I dapat mencari tahu dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada dan dapat dipecahkan bersama dan dapat dipahami isi dari makalah ini dengan baik dan bijak
BAB II

PEMBAHASAN


A.    Faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid fiqhiyyah
Antara faktor yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini ialah peranan para ulama’ dan mujtahid. Golongan ini memainkan peranan mereka menggunakan akal fikiran berdasarkan ilmu daripada sumber perundangan, selaras dengan konsep syariat yang sesuai dilaksanakan tanpa mengira masa dan tempat. Justeru itulah para mujtahid berusaha dengan berijtihad untuk memahami nas-nas dan mempraktikkan kaedah-kaedah yang umum terhadap masalah furu’ yang baru dan sentiasa muncul.  Sebagai contoh, melalui konsep al-Qiyas, Istihsan, ‘Uruf serta berbagai sumber lain lagi.
Dalam konteks lain, para ulama’ dan mujtahid mengkaji dan mendalami semua ruang serta sumber perundangan Islam  yang luas dan berijtihad dengan ilmu yang mereka ada untuk memahami nas-nas dalam mengkaji prinsip-prinsip syariat yang sesuai dengan keadaan masa dan tempat. Justeru itu, mereka mempraktikkkan kaedah yang berbentuk umum terhadap masalah khusus atau furu’ yang baru serta sentiasa wujud dalam masyarakat.
Antara faktor lain yang membawa kepada terbentuknya kaedah  fiqhiyyah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ dan fakta sejarah ialah kerana terdapat nas-nas yang dapat ditafsirkan dengan berbagai-bagai. Yaitu ada nas yang berbentuk umum yang merangkumi pelbagai masalah, dan ada nas yang mutlaq yang mana melahirkan pendapat-pendapat untuk mengikatnya atau untuk memuqayyadkannya.
Selain itu, kaedah fiqhiyyah ini juga muncul akibat terdapat kaedah-kaedah umum yang berasaskan adat kebiasaan yang muncul dalam perkembangan hidup manusia dari satu generasi ke satu generasi lain untuk disesuaikan dengan masalah-masalah hukum furu’. Oleh yang demikian, ia memerlukan sumber-sumber akal fikiran dan amalan-amalan yang berterusan sebagai adat atau ‘uruf untuk mengeluarkan hukum yang fleksibel di samping untuk menangani persoalan semasa yang sentiasa wujud dan berterusan sehinggan kini
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikumukakan beberapa faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai berikut:

1.      Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan semakin sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka untuk  mempermudah menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut, disusunlah qawaid fiqhiyyah.
2.      Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim
3.      Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah didorong oleh pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka memberikan jawaban yang singkat dan padat.[1]


B.     Proses pembentukan dan perkembangan qawaid fiqhiyyah

Proses pembentukan qawaid fiqhiyyah i ni terjadi antara lain didorong oleh karena  adanya kebutuhan memahami ketentuan hukum (fikih) yang begitu banyak. Dengan adanya kaidah fikih ini diharapkan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat., dapat memperoleh jawaban secara cepat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, serta dengan metodologi ushul fikih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih yang kemudian diteliti persamaanya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompkkan dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah–masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih yang bersifat sementara, lalu selanjutnya melanjutkan kritisasi terhadap kaidah-kaidah tadi dengan banyak ayat dan hadis. Setelah proses kritisi barulah kaidah fikih ini menjadi mapan dan para ulama menggunakan kaidah untuk menjawab persoalan masyarakat dibidang sosial, ekonomi politik dan budaya yang kemudian menghasilkan fatwa-fatwa yang dijadikan dasar oeh negara dalam menyusun perundang-undangan.[2]

Perkembangan qawaid fiqhiyyah fase pertama : fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqh. Oleh mulai zaman rasulallah sampai akhir abad III H/IX M. Pada masa ini ada hadist, atsar sahabat dan perkataan tabi’in yang bisa dikategorikan kaidah fiqh karena mencakup berbagai masalah furu’. Dalam perkembangan selanjutnya, kaidah fiqh semakin bertambah dan berkembang, akan tetapi kaidah-kaidah fiqh tersebut berserakan dalam berbagai kitab fiqh, seperti: dalam kitab al-kharaj karya abu yusuf (w 182 H/798 M). Fase kedua : masa perkembangan dan pembukuan kaidah fiqh dimulai pada abad 4H/10 M-13H/19M .Pada masa ini, kitab-kitab fiqh sangat banyak sekali, para ulama tidak melakukan ijtihad mutlak, tetapi menulis ushul fiqh dan merumuskan kaidah-kaidah fiqh. Penulisan terangkum dalam tema-tema semisal al-Qawaid wa adh-Dhawabith.
Penulisan dimulai dengan pernyataan umum (kaidah-kaidah) kemudian diikuti dengan furu” seperti dalam kitab al-asyabah wa Van-Nazhair oleh jalaludin as-sayuthi. Penulisan qaidah fiqh pada fase ini dimulai oleh al-Karakhi dan ad-Dabusi dari kalangan ulama hanafiyah. Fase ketiga: fase kemajuan dan sistematsasi qaidah fiqh dimulai dengan kelahiran majallah al-ahkam al-adliyyah( kompilasi hukum islam di masa turki dan usmani).[3]
Ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang qawaid adalah Abu Thahir Ad-Dabbas, seorang ulama yang hidup pada abad-3 dan 4 Hijriyah. Ia mengumpulkan 17 kaidah yang terpenting dalam mazhab Abu Hanifah. Diantaranya, panca kaidah yang dipandang induk kaidah oleh Qadhi Husein, yang disebut dengan qawaid al khamsah. Kaidah ini mulanya dinamakan ushul. Pensyarah- pensyarah mazhab dan pengarang-pengarang qawaid, sering mengatakan min ushul Abi Hanifah. Mereka menyebut sebgaian ushul ini sebagai qawaidh, sebagaimana terdapat dalam kitab Ta’siran Nadzar karangan ad-Dabusi dan dalam kitab Ta’siran Nadzar karangan ad-dabusi dan dalam kitab Qawaid al-Karakhi[4]

C.     Yang sudah diyakini tidak dapat  dihapus oleh keraguan


“Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
Qai’dah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya memuat banyak persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qai’dah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalah bersuci dan shalat. Seperti yang telah diketahui, bahwa was-was adalah penyakit menyesatkan dan sulit dihilangkan. Apabila sudah mencengkram pada seseorang, maka ia akan sulit melepaskannya, sehingga ia berada pada kesulitan yang tak berkeputusan dan merasakan keberatan untuk melakukan kewajiban-kewajiban ibadah. Demikian pula pada masalah-masalah selain bersuci dan shalat. Qai’dah ini menawarkan sebuah solusi berupa kemudahan-kemudahan dan pertolongan kepada semua orang dalam melakukan ibadah.
Secara rasional, sebuah keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila dibanding dengan gejala hati yang lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat suatu kepastian yang tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang akan mengantarkan seseorang kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah. Sementara keraguan adalah suatu kondisi yang kerap hadir dalam hati dan tidak bosan untuk terus menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau komitmen seseorang.
Qa’idah “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”  yang menjadi konklusi dari hadis-hadis diatas, dalam prakteknya bisa menyusup kepada seluruh pembahasan fiqh meliputi masalah ibadat, muamalat,’uqubat, aqdhiyah. Memandang kenyataan demikian itu, Imam al-Syuyuthi mengatakan bahwa Qai’dah ini bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqh. Masalah-masalah yang bisa diselesaikan oleh qa’idah ini mencapai lebih dari tiga seperempat masalah fiqh atau bahkan lebih. Menyangkut masalah ibadah, muamalah, sanksi, dan lain-lain.[5]

1.      Al-Yakin
Al-yakin secara bahasa menurut Ibn Mandzur, “ Al-yakin adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah).  Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-syak”. bahwa al-yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya adalah bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sesamanya.
Adapun yang dimaksud dengan yakin adalah: “sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil( bukti)”
Contohnya adalah seorang laki-laki bepergian ke wilayah yang sangat jauh, sehingga tidak terdengar lagi khabar beritanya dalam waktu yang lama. Tidak adanya khabar laki-laki ini menyebabkan orang yang ditinggal menjadi ragu akan masih hidupnya. Hanya saja keraguan itu tidak bisa menghilangkan keyakinan awal, yaitu masih hidup yang telah diyakini sebelumnya. Oleh karena itu, lelaki tersebut tidak boleh dihukumi mati dan ahli warisnya tidak boleh membagi harta yang ditinggalkan sebelum ada keyakinan pasti akan kematiannya seperti waktu berangkat dulu sudah berumur delapan puluh tahun, dan sudah pergi selama tiga puluh tahun tanpa ada khabar beritanya padahal umumnya orang berumur sekian ini sudah meninggal, maka lelaki tersebut bisa dihukumi mati

2.      Ghalabah al-Dzan
Ghalabatu al-dzan menurut Abu Hilal al-‘Asykari adalah,” Dugaan tetap, yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan dominasi muthlak, dan lainnya di kesampingkan karena terlalu lemah”.
Menurut para pakar fiqh, hukum ghalabatu al-dzan adalah sama dengan al-yakin. Dengan kata lain, bagi seorang mujtahid boleh mencetuskan hukum fiqh dengan hanya berlandaskan pada ghalabatu al-dzan ketika tidak ditemukan al-yakin, karena al-yakin dalam proses mencari dalil (istidlal) dan menggali hukum (istinbath al-hukmi) adalah hal yang sulit dan jarang sekali bisa dicapai oleh seorang mujtahid.
Ghalabatu al-dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga bahwa salah satunya lebih unggul, dan hatinya condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut al-dzan.

3.    Al-Dzan
Menurut Imam Raghib, al-dzan adalah,” Perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga (tawahum)”. Al-Hamawi dalam kitabnya, mendefinisikan al-dzan dengan mengatakan,” Al-dzanadalah, menduga diantara dua kemungkinan perkara sekiranya kemungkinan salah satunya lebih mendominasi, namun tidak bisa mengesampingkan lainnya”.
Perbedaan yang lebih transparan antara al-dzan dan ghalabatu al-dzan dikemukakan oleh Ibn Abidin, mengutip pernyataan dari pakar fiqh:
“ Apabila salah satu dari dua sisi kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli sisi yang lain, namun hati enggan untuk mengambil sisi yang kuat ini dan enggan juga untuk membuang sisi yang lain dan lemah, maka dilema hati yang demikian inilah yang disebut al dzan. Apabila hati berpegang pada salah satunya dan mengesampingkan yang lain, maka disebut ghalabatu al-dzan”.

4.    Al-Syak
Al-syak dipandang dari segi etimologis artinya menyambung atau melekat. Pada perkembangannya al-syak kemudian menjadi terminologi fiqh dan terkenal dikalangan ulama fiqh dengan memiliki arti ragu atau bingung. Mengutip apa yang dinyatakan Siraju al-Din ibn al-Mulaqqin dalam kitab al-Asybahnya ia mengatakan bahwa yang dimaksud al-syak adalah, “Ragu atau bingung dalam menentukan diantara ada dan tidak adanya sesuatu dengan sama-sama kuat”. Sedangkan yang disebut dengan syak adalah :” suatu hal keadaanya tidak pasti, berada tepat di tengah-tengah antara kemungkinan adanya dan kemugkinan tidak adanya, tanpa ada yang dapat lebih dimenangkan / dipastikan dari salah satu kedua kemungkinan tersebut”.
Dalam realitasnya ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini. Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada tempat al-syak, atau sebaliknya. Sebagaimana hal ini diungkapkan didalam kitab Kasyaf al-Asror,” Asumsi (al-dzan) yang bertolak dari sinyalemen dalil-dalil syar’i adalah sama dengan melakukan ijtihad dalam menggali hukum, maka asumsi yang demikian ini bisa dijadikan dasar dalam memutuskan hukum”.

Jadi, arti sempurna untuk qa’idah diatas adalah,” Sesuatu yang eksistensinya sudah diyakini dari sebelumnya tidak akan hilang hanya karna disebabkan oleh baru datangnya keraguan”. Masalah keyakinan secara logika tidak mungkin bisa dihilangkan begitu saja oleh sesuatu yang lebih lemah daripadanya. Demikian ini tidak berarti bahwa secara implisit dalam hukum syar’i terdapat keraguan dan kesamaran. Kalaupun kemudian muncul keraguan pada mukallaf itu disebabkan oleh baru datangnya faktor-faktor eksternal yang menurut mukallaf saling berlawanan, sehingga masalah tersebut meragukan baginya. Padahal tidak jarang pada kesempatan lain ia berubah pikiran tentang sesuatu yang sebelumnya ia ragukan itu, kemudian ia anggap sebagai dugaan (al-dzan). Begitu pula dengan orang lain, kadang-kadang ia menganggap berbeda dari apa yang dianggap oleh mukallaf. Bahkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai kepastian (qoth’i). Maka satu masalah yersebut bisa berstatus al-dzan menurut satu orang yang lain, dan bisa berstatus al-yakin menurut lainnya. Oleh karenanya keraguan (al-syak) dan dugaan (al-dzan) pada suatu masalah bukan merupaka sifat yang menetap, sebab bisa berubah-rubah pada masing-masing orang.
Pemahaman yang paling akurat dan sesuai adalah bahwa hal-hal itu merupakan perkara yang baru datang, yaitu ketika masalah tersebut dipersepsikan oleh seseorang. Sikap ragu bisa muncul begitu saja dalam benak seseorang dikarenakan adanya sifat lupa atau ketidaktahuan.
Yang demikian ini banyak sekali terjadi pada masalah-masalah fiqhiyah. Oleh karenanya, para pakar fiqh merasa perlu sekali umtuk merumuskannya dalam suatu Qa’idah. Para pakar fiqh dan ushul sepakat untuk menerapkan konsep dasar yang merupakan aplikasi dari Qa’idah Ψ§Ω„ΩŠΩ‚ΩŠΩ† Ω„Ψ§ ΩŠΨ²Ψ§Ω„ Ψ¨Ψ§Ω„Ψ΄Ωƒ. dalam kitab Ushul al-Sarakhsi dikatakan,” Berpegang pada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan hukum dasar dalam syar’i”[6]
Jadi maksud dari kaidah tersebut ialah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu meningkat menjadi meyakinkan. Jadi semua tindakan harus berlandaskan pada yang diyakini.
“Yang pokok atau kuat adalah tetap berlakunya hukum yang ada menurut keadaannya semula”.
Berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang menjumpai keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diberlakukan hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lalu, sampai ada hukum yang lain yang merubanya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Pada dasarnya manusia adalah bebas dari tanggungan”
Pada dasarnya manusia adalah bebas, tidak mempunyai tanggung jawab terhadap hak hak orang lain. Adanya beban tanggung jawab adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang telah dia lakukan.
Barang siapa ragu ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang lebih kuat adalah dia belum melakukan sesuatu”.
dalam hubungannya dengan masalah “syak” atau keragu-raguan ini, Syeh Abu Hamid Al-Isfaroyini mengatakan bahwa keraguan-keraguan itu ada tiga macam :
1.      Keragu-raguan yang timbul dari pangkal (sumber) yang haram.
2.      Keragu-raguan yang timbul dari pangkal yang mubah
3.      Keragu-raguan yang tidak diketahui dari mana asalnya (haram atau halal)

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda.
Al-Yakin secara bahasa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan Ghalabah al-Dzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. Al-Dzan yaitu perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan. Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al –Syak adalah sepadan antara dua sisi perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati tidak condong pada salah satunya















DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001)
Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz II
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015)




[2] Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 280-281
[3]  Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm 20-25
[4] Mardani, op.cit., hlm 282-283
[5] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV, h. 49

[6]  Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz II, h. 116

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah quantifiers mata kuliah bahasa inggris UIN lampung

BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Dalam mempelajari bahasa inggris, ada banyak hal yang harus di ketahui dan dipelajari terlebih dahulu salah satunya memahami Quantifiers atau dengan bahasa Indonesia biasa disebut untuk menyatakan suatu jumlah. Quantifiers kalanya menujuk kepada permasalahan universal seperti kata, seluruh, semua, tidak satu pun. Ada kalanya menunjukkan kepada permasalahan partikular seperti sebgaian, beberapa, tidak semua tapi sebagian, rata-rata. Ada kalanya menujuk kepada permasalahan singular, tetapi permasalahan singular biasanya quantifier tidak dinyatakan. Dalam makalah ini kami akan membahas materi Quantifiers agar kita mempunyai pemahaman terhadap penalaran tentang “Quantifiers” yang kemudian dalam kehidupan sehari-hari. B.      RUMUSAN MASALAH a.        Jelaskan pengertian dari Quantifiers? b.       Bagaimana penggunaan Quantifiers? C.     TUJUAN a.        Memberikan informasi tentang pengertian Quantifiers b.       Memb

Karena apapun yang terjadi sekarang, Allah selalu punya alasan mengapa itu terjadi

Halooo assalamualikummm selamat datang di blog alpi, semoga blog alpi yang ini berfaedah bagi kamu yang baca ya aaamiin sekarang lagi musim kelulusan ya? yang SMA terutama, alpi mau bahas tentang kelulusan SMA aja kali ya, karena alpi juga baru lulus jadi masi fresh hehe setelah UN selesai, apa yang kalian lakuin? bimbel? ato santai-santai aja dirumah ato liburan? kalo alpi waktu itu ngisi kekosongan libur kurang lebih 3bulan itu bimbel, bimbel buat SBM sama kursus jait hehe setelah UN, pasti kalian deg-degan dong ya dengan SNMPTN SNMPTN itu menurut aku jalur untung-untungan ato hoki buat masuk kampus impian. gimana ga hoki coba? yang lolos SNMPTN tuh rata-rata orang yang ga terduga wkwkw contohnya aja di kelasku dulu, yang paling pinter dikelas, dikenal guru-guru karena rajin dan pinternya ngalahin sama anak yang badung, nakal bahkan aku bisa bilang rangkinnya 30 dari 37 siswa bisa lolos SNMPTN di salah satu universitas terkenal di jawa tengah wwkwk di samping ke hokian

Filosofi Ariyah. Makalah Filsafat Hukum Islam

MAKALAH “FILOSOFI ‘ARIYAH” Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “ Filsafat Hukum Islam ” Dosen Pengampu : Abdul Qodir Zaelani, S.H.I,. M.A. Di Susun oleh Alfiyyah Rahma                       1621030330   MUAMALAH F PROGAM PENDIDIKAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 201 8   BAB   I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), maka perlu kita bahas mengenai dasar hukum ariyah. Apa sebenarnya ariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah? Dan apakah pembayaran / pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau tidak? Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai dengan syara . agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata. Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk me

Tahun tahun pertama kuliah

Alohaaaaaa Assalamualikum temen temen.. Udah lama banget alpi ga nulis, ga nyerita, terimakasih untuk kamu yang udah luangin waktu buat baca cerita alpi jadi kali ini alpi bakal nyeritain gimanaa tentang tahun-tahun pertama kuliah Sebenernya tuh ya gada yang spesial, aku kayak milih break gitu niatnya mau pengen ngerasain kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang)  Sambilan kayak memilih milah ukm gitua, pengen tau jadi ga asal masuk ukm takutnya kan banyakk yg tau nya malah antek2, rawan radikal juga kaaan. eh apa dayaa malah jadi kunang-kunang (kuliah nangkring kuliah nangkring) wkwk Jadi tuh setahun full aku tiap abis ngampus langsung kosan, kalo ga pulang kosan, kantin, nongkrong embung (danau kampus) kalo ga itu ke kosan kawan. kalo pun di kosan ya nonton drakor terus nugas begituuu terussss tapi ya d jalanin aja karena emg kerjaaan nongki kan jadi ya asik ajaaa, masi tahun pertama jadi masi seneng2 nya main keliling2 kota yang baru d tempatin gt :" 2 semester

Kewarisan Saudara dan Kewarisan Kakek

Pengertian Waris Wirjono Prodjodikoro mengemukakan warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada si hidup. Sistem hukum kewarisan di Indonesia yaitu hukum waris Islam (farΓ’idh), hukum waris perdata yang diatur dalam KUHPerdt dan hukum adat. Dalam hukum waris KUHPerdt tidak dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Semua mereka berhak mewaris sama dengan bagian anak perempuan. Bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak. Ada empat golongan ahli waris yang terdapat dalam KUHPerdt yaitu: 1.        Anak atau keturunannya dan istri (suami) yang hidup. 2.        Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris. 3.        Nenek dan kekek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus keatas (Pasal 853 KUHPerdt). 4.        Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai tingkat keenam. (Pasa

Yuk Bangun lagi!! Jangan biarkan dirimu berada dalam keterpurukan, Allah sedang menyiapkan jalan yang terbaik untukmu^^

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh^^ Haaaaaii haloooo haiiiiiii Kenalin, aku Alfiyyah Rahma kalian boleh manggil aku alpi , sejak 20 tahun yang lalu aku tinggal di Kotabumi Lampung Utara bersama ibu dan bapakku serta dua adik laki-laki dan perempuanku. Ga kerasa aku udah 2 tahun mengeyam bangku pendidikan perkuliahan di jurusan Muammalah Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, kalo di inget-inget dulu gimana perjuangan sampe bisa 2tahunan disini tuh banyak banget Kejutan-kejutan yang Allah kasih melalui pengalamanku hingga sampai di semester 5 ini. Kalau di ingat-ingat dulu masa perjuanganku untuk bisa kuliah itu menyakitkan banget hihi, dari SMA selama 3tahun aku nonstop bimbel seminggu 3kali, di tambah bimbel tambahan untuk SBMPTN tuh ya Allah :') perjuangan ku. Dua tahun yang lalu, aku sempet sakit hati kenapa aku bisa gagal di SNMPTN Psikologi-UNS. Tapi aku bukan tipe orang yang mudah terpuruk saat itu, dengan semangat yang di salurkan bapakku, aku mencoba se

Alur Pendaftaran Persidangan Perkara di Pengadilan Agama

A.     PENDAFTARAN PERKARA Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan Pihak berperkara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan,minimal 5 (lima) rangkap.Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat. Dokumen yang perlu diserahkan kepada Meja I adalah : o     Surat kuasa khusus ( dalam hal Penggugat atau Pemohon menguasakan kepada pihak lain) o     Fotokopi kartu tanda advokat bagi yang menggunakan jasa advokat. o     Surat kuasa insidentil harus ada keterangan tentang hubungan keluarga dari Kepala Desa/Lurah dan/atau surat izin khusus dari atasan bagi PNS/POLRI/T Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkar

Makalah Asuransi Syariah

MAKALAH “ASURASI SYARIAH “ Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Lembaga Keuangan Syariah” Dosen Pengampu : Helma Maraliza, S.E.I., M.E.Sy Di Susun oleh Alfiyyah Rahma                       1621030330 Ayu Wulandari                        1621 Eis Julaikah                              1621 Hesti Angginasari                    1621 Vika Restia Handayani                     MUAMALAH I PROGAM PENDIDIKAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2018 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Hidayahnya serta pertolongan Nya  penulis dapat diperkenankan menyelesaikan makalah ini.        Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah semata-mata unuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Lembaga keuangan Syariah” yang berjudul “Asuransi Syariah”        Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besernya kepada seluruh pihak yang

KONSEP BANTUAN HUKUM DALAM PERADILAN

MAKALAH “KONSEP BANTUAN HUKUM DALAM PERADILAN “ Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Bantuan Hukum” Dosen Pengampu : SYEH SARIP HADAITULLAH, S.H.I., M.H.I. Di Susun oleh Ahmad Bustomi                       1621030210 Alfiyyah Rahma                       1621030330 Aliatul Fikria                            1621030223 Alvionita                                 1621030567 Arif Budiman Ansari               1621030412 Aulia Rahmah                          1621030143 Berian yudha Koeswara           1621030206 Bunga Oktalia                          1621030134 MUAMALAH C PROGAM PENDIDIKAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Hidayahnya serta pertolongan Nya  penulis dapat diperkenankan menyelesaikan makalah ini.        Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah semata-mata unuk memenuh